Keprak Ketoprak Bertalu-talu
Lama mati suri, ketoprak to-bong surut dan berganti men-ja-di ketoprak tanggapan-. Yang per-tama merepresen-tasikan bu-kan h-anya keto-prak sebagai ke-se-nian me-lainkan juga komu-ni-tas—pa-ra- pemain dan kru selama ber-bulan-bulan ting-gal da-lam to-bong, ba-ngu-nan tidak per-manen yang dibong-kar pa-sang dan di-bawa dari satu tem-pat pementasan ke tempat lainnya.
Ketoprak tanggapan le-bih- sim-pel: pemain ha-nya- ber-kumpul jika a-da yang menanggap. Di pantai utara Jawa, grup-grup kese-nian ini tumbuh dan menjadi sandaran hidup para pelakunya. Era tobong memang sudah ber-akhir, terutama setelah Siswo Budoyo Tulungagung tutup layar pada 2001. Yang lain bagai tercekik: penonton enggan mendatangi pementasan tobong dan menggantinya dengan sinetron dan dangdut di televisi.
Pada akhir Februari lalu sebuah festival ketoprak digelar di Solo, Jawa Tengah. Suara keprak, kentongan kayu yang dipukul untuk menandai pergantian adegan tobong, nyatanya tak pernah benar-benar surut.
SULARTO memukul-mukul kendang sendirian di bawah panggung. Ritmenya tak begitu ter-atur-, tetapi tampak sekali lelaki 36 tahun itu begi-tu menikmati permainannya. Di panggung, em-pat lelaki bergeletakan mengaso sambil ngo-brol ngalor-ngidul. Udara panas sekali. Siang itu di tobong ketoprak milik Ki H Anom Suroto, Timasan, Sukoharjo, ia bersama rekan-rekannya baru saja menuntaskan latihan. Malam nanti, mereka akan beraksi membawakan lakon legendar
...
Berlangganan untuk lanjutkan membaca.
Kami mengemas berita, dengan cerita.
Manfaat berlangganan Tempo Digital? Lihat Disini