maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Nyaris Mustahil Memberantas Makelar Kasus di Mahkamah Agung

Status tersangka Sekretaris Mahkamah Agung kian membuka borok lembaga peradilan. Perlu perombakan total model pengawasan.

arsip tempo : 171354401145.

Misi Mustahil Membenahi Lembaga Peradilan. tempo : 171354401145.

DENGAN korupsi yang begitu mengakar di lembaga peradilan, masih bisakah masyarakat berharap mendapat putusan hakim yang adil?

Sangat wajar jika publik tak lagi mempercayai lembaga peradilan. Kasus suap yang menyeret Sekretaris Mahkamah Agung Hasbi Hasan menunjukkan dengan terang benderang bahwa putusan hakim (selalu) bisa diperdagangkan dan berpihak pada mereka yang berani membayar mahal. Maka menumbuhkan kepercayaan terhadap para hakim dan pejabat di lembaga yang seharusnya teragung itu kini seperti—meminjam istilah grup lawak lawas Srimulat: "hil yang mustahal".

Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Hasbi Hasan sebagai tersangka dalam kasus suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung pada Rabu, 10 Mei lalu. Hasbi bakal menyusul dua hakim agung, Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh, yang telah diseret ke pengadilan dalam kasus sama. Secara berjemaah, bersama sejumlah pegawai MA, mereka menerima suap miliaran rupiah untuk mengurus putusan perkara Koperasi Simpan Pinjam Intidana.

Kasus yang menjerat para petinggi Mahkamah Agung ini memperjelas anggapan bahwa palu hakim tak pernah lepas dari cengkeraman makelar kasus. Sebelumnya, pada Maret 2021, bekas Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi Abdurrachman, divonis enam tahun penjara karena menjadi makelar kasus. Namun lembaga peradilan tertinggi itu tak pernah sungguh-sungguh membersihkan diri dari kelakuan korup personelnya. Reformasi peradilan yang berulang kali digaungkan oleh MA tak lebih dari slogan kosong.

Baca Wawancara Ketua Komisi Yudisial: Ada Mafia Peradilan di Mahkamah Agung

Salah satu penyebab bobroknya lembaga peradilan adalah nihilnya pengawasan terhadap perilaku hakim. Mahkamah Agung sendiri yang merusaknya pada 2006 dengan mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Komisi Yudisial. Setelah Mahkamah Konstitusi—yang sejumlah hakimnya juga pernah terlibat suap—menerima permohonan itu, tak ada lagi pengawasan ketat terhadap para hakim. Pengawasan internal MA terbukti tak mampu membenahi kerusakan lembaga peradilan.

Kebobrokan lembaga peradilan tak hanya disebabkan oleh hakim atau panitera yang bermental korup. Kerusakan juga disumbangkan oleh sikap masyarakat yang mendiamkan atau memaklumi kebobrokan itu. Bisa jadi banyak orang berkeyakinan bahwa setiap orang yang beperkara di pengadilan harus menyiapkan uang pelicin. Tanpa setoran, tak mungkin perkara bisa dimenangi. Pada saat yang sama, bukannya terus membangun sistem demi perbaikan, hakim dan panitera tanpa malu memanfaatkan anggapan tersebut dengan mengeruk duit dari kasus yang diadili.


Baca liputannya:


Publik mungkin tak menyadari, atau tak peduli, bahwa kerusakan lembaga peradilan berdampak besar dan luas. Pengadilan yang seharusnya menjadi tempat terakhir untuk mencari keadilan telah berubah menjadi tempat mencari kemenangan dengan cara transaksional. Para penjahat, termasuk koruptor, tak lagi menganggap MA sebagai pengadilan yang menakutkan karena semua bisa dibeli. Posisi hakim yang tak lagi imparsial juga membuat lembaga peradilan mudah diintervensi oleh kepentingan politis yang menguntungkan penguasa.

Baca: Mengapa Mafia Kasus Leluasa Bermain di Mahkamah Agung?

Perkara demi perkara yang menjerat petingginya seharusnya menyadarkan pemimpin MA untuk merombak total manajemen lembaga itu. Ketua MA Syarifuddin, yang akan menjabat hingga 2025, masih punya waktu untuk memperbaiki berbagai kelemahan di lembaganya, terutama pengawasan dalam proses peradilan. Hakim dan panitera korup pun tak boleh lagi dilindungi dan bebas dari sanksi. Tanpa ada ketegasan terhadap hakim mata duitan seperti itu, pengadilan akan terus menjadi sarang korupsi.

Artikel ini terbit di edis cetak di bawah judul "Misi Mustahil Membenahi Lembaga Peradilan"

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 14 April 2024

  • 7 April 2024

  • 31 Maret 2024

  • 24 Maret 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan