maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Seribu Kandidat, Satu Jokowi

Jokowi memberi lampu hijau kepada banyak politikus yang ingin jadi calon presiden. Skenario telur di banyak keranjang.

arsip tempo : 171162563069.

Seribu Kandidat, Satu Jokowi. tempo : 171162563069.

ISYARAT Presiden Joko Widodo mendukung Prabowo Subianto maju dalam pemilihan presiden 2024 adalah bukti nyata tak ada yang abadi dalam politik. Bertarung dalam Pemilihan Umum 2014 dan 2019, Jokowi balik badan ketika menunjuk Prabowo menjadi Menteri Pertahanan pada periode kedua pemerintahannya.

Perekrutan Prabowo itu membelah pendukung Jokowi. Sebagian menyesali keputusan itu karena pada Prabowo melekat banyak cacat sejarah pelanggaran hak asasi manusia. Sebagian lainnya menerima dengan argumen yang kini terkesan palsu: Jokowi merangkul lawan politik agar konflik horizontal tidak menjadi-jadi. Kita mafhum, konflik horizontal dalam dua pemilu terakhir tak bisa dipisahkan dari strategi pemenangan kedua kandidat. Dalam hal ini, publik adalah korban nyata pertempuran politik elektoral Jokowi dan Prabowo. 

Terbelahnya masyarakat tak menguntungkan siapa pun selain Jokowi dan Prabowo sendiri. Apa yang ditakutkan terjadi jika Prabowo menang dalam Pemilu 2014 dan 2019 malah terjadi di era Jokowi: pengabaian hak asasi manusia, pelemahan agenda pemberantasan korupsi, dipersempitnya ruang kebebasan sipil, dan lunturnya komitmen terhadap demokrasi.

Kini Jokowi memberi lampu hijau kepada Prabowo. Mantan menantu Soeharto, penguasa Orde Baru, itu memang bukan satu-satunya orang yang disorong Presiden. Dalam beberapa kesempatan, Jokowi juga memberi sinyal dukungan kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan beberapa menteri dalam kabinetnya.

Sebagai presiden yang terpilih berkat sokongan masyarakat sipil, Jokowi seharusnya berusaha keras menyiapkan pemilihan umum yang jujur, adil, dan damai. Jurus Jokowi mengobral dukungan menunjukkan bahwa ia sekadar ingin memperkuat posisinya sebagai kingmaker agar presiden berikutnya “tak meninggalkannya” secara politik dan hukum. Di luar soal menyiapkan kandidat, muncul dugaan ia juga menyiapkan skenario penundaan pemilu

Jokowi mengamankan posisi politiknya dengan “menaruh telur di banyak keranjang”. Dengan kata lain, ia tak peduli pada rekam jejak kandidat dan bagaimana rekam jejak itu mempengaruhi demokrasi dan kemaslahatan publik di masa depan. Di mata Jokowi, setiap pemenang harus lahir dari “jerih payahnya” dan dengan demikian mereka akan berutang budi. Jokowi seolah-olah ingin menolak takdir presiden pada akhir periode kedua: menjadi bebek lumpuh yang diabaikan. 

Itulah yang menjelaskan mengapa hingga akhir pemerintahannya Jokowi selalu menjaga citra dan secara saksama mengamati hasil survei tentang kepuasan masyarakat. Salah satunya adalah dengan menjaga tingkat kepuasan publik. Pada Februari lalu tingkat kepuasan Jokowi  bertengger di angka  69,3 persen.

Sebagai perbandingan,  kepuasan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Januari  2013 (setahun sebelum Pemilu 2014)  hanya 35,9 persen. Sejumlah insiden yang terjadi—dari pembunuhan berencana ajudan Ferdy Sambo hingga kebakaran depo Plumpang—dijaga agar tak berefek pada Presiden. Dengan approval rate yang terjaga, Jokowi ingin tetap bergigi terutama di hadapan partai politik.


Baca liputannya:

Menjadi kingmaker memang tak selamanya buruk. Franklin D. Roosevelt, Presiden Amerika Serikat pada 1933-1945, misalnya, jauh-jauh hari telah menyiapkan Harry S. Truman sebagai penggantinya. Ronald Reagan (1981-1989) juga memberi jalan kepada George H.W. Bush untuk menjadi orang nomor satu di Gedung Putih. Kepada para calon penggantinya, presiden lama menitipkan agenda demokrasi dan kebijakan yang berpihak pada orang ramai. Praktik ini dapat dikontrol publik lewat keterbukaan informasi, termasuk penjelasan terbuka mengapa sang presiden menyokong juniornya. 

Keterbukaan informasi dan sikap tidak “menaruh telur di banyak keranjang” ini dapat memastikan proses sokong-menyokong dilakukan bukan untuk tujuan kongkalikong—praktik rahasia yang dapat menabrak hukum. Negosiasi tertutup memberi kesempatan bagi pemimpin lama untuk melanggengkan pengaruh, termasuk menyelamatkan diri dari jerat hukum ketika kekuasaannya berakhir. Praktik terakhir inilah yang tampaknya tengah terjadi pada hari-hari ini. 

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 24 Maret 2024

  • 17 Maret 2024

  • 10 Maret 2024

  • 3 Maret 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan