maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Populisme yang Membakar Depo Plumpang

Jatuhnya korban dalam kebakaran depo Pertamina Plumpang tak bisa dipisahkan dari kebijakan “prorakyat” yang keblinger.

arsip tempo : 171171563396.

Populisme yang Membakar Depo Plumpang. tempo : 171171563396.

DUA puluh orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka dalam kebakaran di depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara, merupakan dampak nyata salah urus tata ruang di kawasan tersebut. Andai saja ada zona penyangga yang memisahkan depo Plumpang dengan permukiman penduduk, kebakaran akan lebih mudah dikendalikan dan jatuhnya korban bisa dicegah. 

Membiarkan warga menempati area yang semestinya menjadi zona penyangga di obyek vital berisiko tinggi merupakan kesalahan besar. Dalam petaka pada Jumat malam, 3 Maret lalu, itu, api dari pipa di kompleks depo menyambar permukiman. Jarak pipa yang terbakar dengan rumah yang hangus memang tak sampai 28 meter—idealnya 50 meter. Menyimpan 291 ribu kiloliter bahan bakar minyak dalam tangki-tangki berukuran jumbo, depo Plumpang akan menyemburkan api berukuran raksasa jika terbakar. Di sekelilingnya, terutama di bagian utara, penduduk berdesak-desakan di permukiman padat. Di beberapa bagian, tembok warga menempel dengan dinding pembatas depo.

Ihwal pentingnya zona penyangga sudah digagas ketika terjadi kebakaran depo Plumpang pada 2009. Saat itu api melalap tangki 24 yang berisi 5.000 kiloliter Premium. Seorang pegawai Pertamina tewas dan ratusan warga mengungsi. Ketika itu Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo sepakat mengosongkan lahan yang ditempati sekitar 7.400 keluarga untuk zona penyangga. Di era Fauzi, rencana ini tak terealisasi—Gubernur baru sebatas membentuk tim teknis. Rencana relokasi juga pernah dibahas gubernur sebelumnya, Sutiyoso, pada 2003-2004. Sibuk oleh pemilihan umum, rencana itu urung dijalankan.

Gubernur setelah Fauzi, Joko Widodo, malah memilih kompromi. Ia melegalkan permukiman di Tanah Merah dengan memberi status rukun tetangga/rukun warga dan membagikan kartu tanda penduduk. Dengan status ini, makin banyak orang yang menetap di sana sehingga jarak permukiman kian dekat dengan depo. Persoalan makin rumit karena penerus Jokowi, Anies Baswedan, memberikan izin mendirikan bangunan kawasan sementara untuk kampung tersebut. Anies berdalih, warga Tanah Merah memiliki hak yang sama dengan warga Jakarta lain. Karena itu, sulit tidak mengaitkan banyaknya korban dalam kebakaran depo Plumpang dengan kebijakan populis para pemimpin DKI Jakarta. 

Ketika diresmikan pada 1974, depo Plumpang menempati area 151 hektare. Sejak 1987, masyarakat secara ilegal menempati wilayah di sekitar depo tanpa zona penyangga sama sekali. Dalam kondisi itu, Pertamina sulit menanggulangi kebakaran dan warga sekitar setiap saat terancam sambaran api.

Pemerintah telah mengkaji opsi pemindahan depo dan pembebasan lahan untuk zona penyangga. Jika dipilih, opsi pertama dikhawatirkan mengganggu distribusi bahan bakar—selain berbiaya mahal. Saat ini depo Plumpang merupakan pemasok 20 persen kebutuhan BBM nasional per hari. Ada juga risiko kebakaran besar jika pembongkaran tak lancar. Pemindahan depo ke lokasi lain pun memberi celah penyalahgunaan wewenang dan memunculkan para "penumpang gelap": tak sedikit pengusaha yang kesengsem pada lahan tersebut.


Baca liputannya:


Menjalankan opsi kedua lebih masuk akal. Pemerintah tak perlu membayar ganti rugi karena lahan itu milik negara. Pemerintah DKI Jakarta hanya perlu menyiapkan permukiman baru yang layak. Langkah semacam ini ditempuh penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, ketika merelokasi warga yang terkena dampak proyek sodetan Kali Ciliwung ke rumah susun pada akhir 2022. Terhenti enam tahun karena ditolak warga, pembebasan lahan proyek tersebut saat ini sudah beres. Saat masih menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi juga pernah merevitalisasi Waduk Pluit, Jakarta Utara, dengan merelokasi 3.000 warga ke rumah susun. 

Kunci sukses pembangunan zona penyangga adalah kemauan politik pemerintah. Tak seperti pendahulunya, pejabat gubernur Heru Budi Hartono semestinya tidak punya beban elektoral dalam mengambil langkah tak populer ini. Para mantan gubernur dan politikus lain hendaknya wawas diri. Populisme boleh jadi telah mengantar mereka ke kursi kekuasaan, tapi dalam kasus Plumpang ia merupakan sumbu api yang membakar dan menewaskan warga.

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 24 Maret 2024

  • 17 Maret 2024

  • 10 Maret 2024

  • 3 Maret 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan