Joesoef Isak
Jejak Langkah Pergulatan Pena
Hasta Mitralah yang menggebrak dunia bacaan Indonesia dengan menerbitkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, pertama-tama karya yang ditulis dari pulau pembuangan Buru, Maluku—nun di kesunyian Lembah Wayapo. Karya-karya inilah, antara lain, yang sempat menempatkan Pramoedya sebagai calon penerima Hadiah Nobel untuk bidang kesusastraan.
Dari tiga serangkai itu, kini tinggal Joesoef Isak seorang. Pram dan Hasyim sudah mendahului ke alam baka. Mungkin tak banyak yang tahu, Joesoef juga wartawan andal. Dia pernah menjadi Pemimpin Redaksi Harian Merdeka. Sebagai penggiat organisasi, dia pernah menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Jakarta dan Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Asia-Afrika.
Pekan lalu, tepatnya 15 Juli 2008, Joesoef menginjak usia 80 tahun. Sejumlah rekan dekatnya—baik dari kalangan senior maupun generasi yang lebih muda—merayakan peristiwa itu dengan sebuah peringatan kecil dan diskusi buku di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Nugroho Dewanto dan Gabriel Wahyu Titiyoga dari Tempo menggali kepingan sejarah yang melekat pada diri lelaki yang masih bersemangat itu.
PERTAMA kali bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer, saya mendapat kesan dia seorang yang angkuh. Saya enggak pernah membaca karyanya sebelumnya. Waktu itu tahun 1963. Pihak Partai Komunis Indonesia dan kelompok progresif non-PKI mendirikan sekolah-sekolah kader, antara lain Akademi Ratulangi untuk bidang ekonomi dan Akademi Dr Rifai untuk bidang jurnalistik.
Saya pegang Akademi Dr Rifai. Dia merupakan pelopor jurnalistik, tapi pro-Belanda. Pramoe
...
Berlangganan untuk lanjutkan membaca.
Kami mengemas berita, dengan cerita.
Manfaat berlangganan Tempo Digital? Lihat Disini