Herman Nicolas 'Ventje' Sumual: Lelaki di Balik Permesta
Dia adalah sisa-sisa sejarah. Datang dari sebuah desa di Minahasa, Sulawesi Utara, Ventje menuliskan bab penting sejarah negeri leluhurnya. Maret, 51 tahun lampau, ia membacakan Permesta. Deklarasi ini mengandung tuntutan penting terhadap Jakarta: otonomi daerah seluas-luasnya dan penghapusan sistem pemerintahan sentralistis. Bermula dari deklarasi, Permesta meruyak menjadi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) setelah Jakarta menjawab tuntutan mereka dengan senapan. Sumatera dan Sulawesi bergolak. Pemberontakan itu diselipi kontroversi keterlibatan intelijen Amerika. Namun, Ventje punya versi sendiri yang dia tuturkan panjang lebar kepada wartawan Tempo Widiarsi Agustina dan Nugroho Dewanto. Di usia 85 tahun, ingatannya masih jernih dan benderang. Ia membayar mahal ”sejarah Permesta” dengan penjara dan pemecatan sebagai tentara. Walau begitu, dia bilang, ”Saya tidak menyesal.”
Rumah tua yang teduh itu, di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, menjadi saksi pertemuan kami dengan Jenderal Nasution. Suatu hari pada akhir Oktober 1961 kami tiba di rumah itu. Dalam ruang tamu berwarna cerah, tuan rumah menerima kami dengan begitu hangat—sesuatu yang tidak saya sangka. Nasution sendiri yang membuka pintu. Ia meminta ajudannya menghidangkan kopi dan makanan kecil. Ini di luar kebiasaan Nasution yang kami kenal jarang me
...
Berlangganan untuk lanjutkan membaca.
Kami mengemas berita, dengan cerita.
Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.