Tiga Nila di Serambi Kita
Tsunami Aceh, Desember 2004, seperti ba-ru lepas dari pandangan. Ratusan ribu o-rang tewas seketika, ribuan hektare lahan per-mukiman dan pertanian rata tanah. A-ceh menjadi pusat perhatian: berbondong-bon-dong lembaga swadaya masyarakat me-macak bendera di provinsi itu. Rekonstruk-si di-pandang dengan bibir bergetar: malaikat se-perti datang dari langit dengan pundi-pun-di- uang dan segala cinta kasih.
Setahun berlalu, orang-orang lalu merasa-kan- apa yang sebelumnya mungkin tak per-nah terbayangkan: hadirnya tikus-tikus. Ban-tu-an digerogoti, dana proyek diisap hingga ting-gal sedikit atau habis sama sekali.
Tiga lembaga internasional yang ditengarai di-jang-kiti tikus korupsi adalah FIG (Jerman), Oxfam (Inggris), dan Save The Children (Ing-gris). Modusnya hampir seragam, yakni peng-gelembungan atau penyunatan dana pro-yek. Pelakunya bervariasi: dari kontrak-tor- lapangan, konsultan, hingga ekspatriat.
Pada akhirnya korupsi bukan soal warna ku-lit-pribumi atau pendatang, warga lokal- a-tau orang seberang-melainkan soal ke-sem-patan. Dan kesempatan itu terbuka le-bar di Tanah Jeumpa.
Dalam geliat rekonstruksi Aceh, ketiganya mung-kin hanya pucuk gunung es korupsi yang tampak oleh publik. Mudah-mudahan se-ba-liknya: mereka hanya tiga titik nila yang telah merusak sebelanga susu Seram-bi- kita.

SEPOTONG kalimat meluncur berulang-ulang dari mulut lelaki pirang bertubuh tonjang itu: "Bullshit!" Pekan-pekan terakhir ini memang bukan saat menyenangkan bagi Yves Dantin-, sang pengucap serapah. Presiden Frde-r-und Interessengemeinschaft (FIG) e.V.-sebuah lembaga bantuan asal Jerman-itu merasa sudah banyak membantu korban tsunami di Pulau Weh, Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam. Apa daya, justru sederet tudingan yang mampir di telinganya: dari pen
...
Berlangganan untuk lanjutkan membaca.
Kami mengemas berita, dengan cerita.
Manfaat berlangganan Tempo Digital? Lihat Disini