Masih ada tapi seolah-olah sudah tiada. Begitulah nasib musik Melayu kita. Di Jakarta, Surabaya, Medan, atau Pekanbaru, hidup para pemusik Melayu menjadi lesu. Padahal dulu, pada 1950-an, terjadi persaingan ketat antara Malaysia, Singapura, dan Indonesia menjadi pusat musik Melayu. Akhir-akhir ini ada upaya yang dilakukan berbagai grup musik kita mengemas musik Melayu agar bisa sesuai dengan zaman. Mampukah musik Melayu kembali bangkit? Atau sekadar nostalgia?
DALAM tata cahaya redup ruang Stingray Club & Lounge di Hotel Crowne Plaza Jakarta, Fuad Balfas, yang berpakaian serba putih, tampak bersinar di antara personel L'Catraz lainnya yang berjas hitam. Di panggung acara bertajuk "Pagelaran Musik Melayu: Bulan Dipagar Bintang" pada Rabu malam di pertengahan Januari lalu itu, Fuad menjadi penyanyi pembuka. Ia melantunkan lagu Hanya Sebuah Bintang.
Pada paruh pertama, lagu karya Husein Bawafie itu dibawak
...
Berlangganan untuk lanjutkan membaca.
Kami mengemas berita, dengan cerita.
Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.