Pemerintah Harus Perbaiki Tata Kelola Impor Pangan
Praktik impor pangan kerap dilakukan secara tidak transparan. Hal ini yang menimbulkan celah untuk melakukan kecurangan, guna meraup untuk besar.
Jakarta – Pemerintah harus membenahi tata niaga, perbaikan manajemen pertanian, transparansi data dan akuntabilitas kebijakan pangan menjadi kunci agar Indonesia terbebas dari ketergantungan impor pangan yang kerap timbul polemik yang mengiringinya.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan, saat ini masih ditemukan praktek korupsi dan mafia pangan di Indonesia. Munculnya mafia pangan itu disebabkan karena sistem akuntabilitas pangan yang masih lemah dan sistem tata kelola untuk pangan sangat buruk. "Sistem akuntabilitas kita lemah sekali sehingga ada praktek korupsi dan mafia pangan itu muncul, karena yah memang governance di pangan kita jadi buruk.," katanya dalam Ngobrol@Tempo yang bertajuk Tata kelola Pangan di Masa Pandemi, Jumat, 30 Juli 2021.
Saat pandemi Covid-19, kata dia, menunjukan kelemahan pangan secara global. Sebab ketika semua Negara membatasi dan menjaga ketahanan pangannya masing-masing untuk tidak mengirimnya ke luar, Negara yang kerap melakukan impor seperti Indonesia pun menjadi khawatir. Sehingga, menurutnya, tata kelola pangan di Indonesia menunjukan kedaaan yang sebenarnya.
Kondisi tersebut, kata Said, diakibatkan tiga subsistem pangan Indonesia mulai dari produksi, distribusi dan konsumsi sedang tidak baik. Mulai dari produksi pangan, dia menyebut bahwa soal kesejahteraan petani saat ini masih menjadi masalah. Sebab, sebagai hulu produksi pangan petani tidak dihargai. Kerap kali, hasil panennya dihargai dengan rendah.
Apalagi ketika ada wacana impor suatu komoditas pangan, biasanya harga akan bergejolak dan menjatuhkan harga petani. “Masih jauh kita memetakan dalam konteks petani padi ini masih jauh melihat mereka dapat harga yang layak,” kata Said.
Kemudian mengenai subsistem distribusi, Said menjelaskan, ketika awal pandemi beberapa pengiriman pangan sempat terhenti, sehingga terjadi kelangkaan stok di pasaran. Ia menyebut, kondisi ini sempat membuat resah masyarakat yang membutuhkan. Dengan kosongnya stok di pasar, harga suatu komoditas menjadi tak terkendali. “Ini satu situasi yang menggambarkan (pangan) sedang tidak baik,” ujarnya.
Selanjutnya, kata Said, masalah lainnya adalah subsistem konsumsi pangan Indonesia. Dia menyebut, saat ini konsumsi cenderung seragam. Pasalnya, dengan sumber pangan Tanah Air itu sangat beragam, mencapai 77 jenis karbohidrat menjadi sebuah potensi bagi daerahnya masing-masing. Sehingga hal tersebut perlu dimanfaatkan dan tidak boleh dipaksakan untuk makan sejenis saja.
Oleh karena itu, lanjut Said, seharusnya pemerintah bisa memanfaatkan momentum pandemi Covid-19 untuk bergerak maju sehingga sistem pangan di Indonesia bisa bertransformasi menjadi lebih adil, resiliensi, dan berdaulat. “Kondisi pemungkin perbaikan sistem pangan yang harus terwujud salah satunya Tata kelola pangan yang transparan dan akuntabel,” tuturnya.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menyebut bahwa sektor pangan menjadi lahan gurih perburuan rente dari sejumlah pihak melalui importasi bahan pangan. Mekanisme pengendalian impor oleh pemerintah dan mekanisme kuota impor acap kali menjadi celah timbulnya korupsi yang dimainkan baik oleh pejabat negara, maupun pengusaha dan politikus yang berkaitan dengan pemberian izin impor.
“Pasar sektor pangan sangat besar dan tidak akan pernah mati, mengingat masyarakat selalu membutuhkan pangan setiap hari,” kata dia dalam Ngobrol @Tempo yang bertajuk Tata kelola Pangan di Masa Pandemi, Jumat, 30 Juli 2021.
Selain itu, kata dia, izin impor yang mudah dan potensi keuntungan yang besar menggoda sejumlah pihak untuk terus melakukan impor, meskipun tidak dibutuhkan. Adnan mengungkapkan, dalam banyak kasus perkara korupsi yang terjadi terkait impor pangan. Dia menemukan bahwa melalui mekanisme impor ini terdapat selisih harga yang sangat besar dari hasil pengadaan dengan penjualan. "Jadi ada selisih harga luar biasa tajam rata-rata harga impor dan harga yang dilempar ke pasar, itu selisih yang kita sebut sebagai rente," ujarnya.
Selain tata kelola impor yang amburadul, dia pun mengatakan bahwa mekanisme impor yang dilakukan oleh pemerintah itu merupakan mekanisme tertutup yang hanya diketahui oleh pemerintah dan importir. Praktik lancung seperti ini pun telah berlangsung lama. Dari data impor pangan 2005 hingga 2017 misalnya, ICW menemukan adanya ketidaksesuaian data antara milik Indonesia dengan negara importir. Selisihnya hingga Rp20 triliun.
Oleh karena itu, Andan tak heran banyaknya beredar bahan pangan impor di pasaran yang menyebabkan jatuhnya harga petani karena tak dapat diserap pasar. “Ini suatu hal yang membahayakan, mulai dari sisi ketahanan pangan dan monopoli atau oligopoli dari mekanisme impor di Indonesia,” ujarnya.
Wartawan Investigasi Tempo, Agung Sedayu menyebut pokok masalah importasi pangan ini adalah terkait kesesuaian data, dan pengambil kebijakan di Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Dalam laporan yang ia pernah tulis terkait polemik impor bawang putih, ditemukan terjadi perbedaan jumlah izin impor, dan yang didatangkan. “Kalau kita lihat dari volume dari RIPH (Rekomendasi Impor Produk Hortikultura) dan izin impor sering beda,” kata dia.
Dia mengatakan, tidak adanya tranparansi dalam proses menentukan importasi ini membuat celah untuk melakukan permainan. Pasalnya, soal ketidak jelasan itu pun memunculkan dugaan adanya setoran yang diberikan kepada pemangku kebijakan dari para pengimpor. Jumlahnya, kata Agung, pun cukup fantastis jika dikalikan dengan barang yang diimpornya. “Memang impor ini bagi para importir ini sangat mengiurkan dan keuntungannya luar baisa,” tuturnya.
Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR Firman Soebagyo mengatakan, bahwa pemerintah kerap memutuskan untuk melakukan importasi suatu komoditas pangan tanpa berbasiskan data yang lengkap. Ia menyebut, hal ini kerap kali menimbulkan gejolak harga, dan akhirnya yang dirugikan dengan adanya kebijakan tersebut adalah petani dalam negeri. “Jadi serta merta pemerintah dengan tergesa-gesa mengumumkan untuk impor tapi tidak didukung dengan data,” kata dia.
Dia menyebut, pemerintah telah diamanatkan sebagai penyelenggara pangan untuk masyarakatnya. Hal itu telah tertuang ke dalam Undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan yang menyebutkan, bahwa Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan.
Dengan adanya beleid tersebut, kata Firman, pemerintah harus mengupayakan ketercukupan pangan dengan sumber daya di dalam negeri. Baru ketika terjadi gejolak harga atau kekosongan stok pangan, menurut dia, pemerintah dibolehkan untuk melakukan importasi. Namun nyatanya itu tidak terjadi pada saat ini. “Dimana posisi tiga indikator belum terpenuhi pemerintah sudah buru mengumumkan impor pangan,” ujarnya.
Firman mengatakan, kewajiban pemerintah dalam pemenuhan pangan ini menjadi penting. Pasalnya, masih terjadi masalah dalam pengelolaan pasokan hingga menjaga stabilitas harga. Menurutnya ini harus dibenahi karena pangan merupakan sektor paling strategis saat ini. “Posisi ini tentunya harus kita perhatikan, tantangan yang ada ke depan adalah bagaimana memenuhi kebutuhan guna menjamin ketahanan pangan untuk berperan kepada pertumbuhan ekonomi nasional,” tuturnya.
Menanggapi adaya oknum praktek lancung dalam importasi, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi mengatakan, orang yang dimaksud bukan bagian dari Kementerian Pertanian melainkan bagian instansi lain.
Walau demikian, dia menegaskan, pihaknya telah bekerjasama dengan Kementerian Perdagangan dan Satgas Pangan untuk meminimalisir adanya tindakan para mafia impor. "Terus terang saja, itu bukan bagian dari Kementerian Pertanian, tapi itu bagian dari Kementerian Perdagangan,” tuturnya.
Guna menjaga pangan merata di setiap daerah, Agung mengatakan, pihaknya telah melakukan intervensi distribusi. Diharapkan dengan adanya intervensi distribusi, tidak ada lagi distribusi komoditas yang berjalan sendiri atau autopilot.