Percepat Riset Keanekaragaman Hayati Indonesia
Pembangunan yang berkelanjutan dapat mencegah makin rusaknya keanekaragaman hayati Indonesia.
JAKARTA – Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas terrestrial (keanekaragaman hayati daratan) kedua di dunia. Namun, jika digabungkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di lautannya, Indonesia bakal menempati urutan pertama.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Rosichon Ubaidillah, mengungkapkan keanekaragaman hayati merupakan aset jangka panjang yang mesti senantiasa dipelajari, dikaji, dan diteliti. Lembaga Ilmu Pengetahuan telah berupaya mempercepat kegiatan penelitian mengenai nilai tambah keanekaragaman hayati dalam tataran inovasi produk, teknologi bioengineering yang bisa menghasilkan biofarmaka, biokosmetika, agroproduk dan biomaterial lainnya.
“Ini harus segera dilakukan dan nilainya jutaan dolar. Karena Indonesia masih wacana-wacana, konkretnya belum ada. Mungkin beberapa riset institute seperti LIPI sudah memikirkan kesana,” kata Rosichon dia dalam diskusi virtual Indonesia Forest Forum bertajuk “Urgensi Keanekaragaman Hayati” yang diselenggarakan Tempo Media bekerja sama Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) pada Senin, 28 Juni 2021.
Dalam diskusi tersebut juga dihadiri pelaksana tugas Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan RI Hendra Yusran Siry, Sekjen KIARA Susan Herawati, Pengamat Perikanan Universitas Sam Ratulangi, Manado, Rignolda Djamaludin serta dimoderatori oleh Redaktur Tempo Ali Nur Yasin.
Saat ini keanekaragaman hayati Indonesia keberadaannya cukup mengkhawatirkan. Pengamat Perikanan Universitas Sam Ratulangi, Rignolda Djamaludin, mengatakan Indonesia yang memiliki 552 kawasan konservasi dengan luas 22 juta hektar mengalami degradasi ekosistem yang sangat cepat.
“Sudah kehilangan hampir 50 persen kawasan mangrove. Juga seperti terumbu karang yang saat ini hanya 20 persen yang kondisinya baik. Maka bisa dibayangkan berapa banyak spesies, populasi dari organisme ekosistem ini yang bisa jadi hilang atau kualitasnya sangat rendah,” ujar Rignolda.
Dia mencontohkan, seperti Teluk Tomini yang berada di Pulau Sulawesi yang berstatus cagar alam namun tinggal menyisakan 10-15 persen saja.
“Kami berharap bahwa pengembangan infrastruktur menyentuh wilayah-wilayah yang kita jaga keanekaragamannya. Artinya, pembangunan suatu daerah harus diletakkan dalam konteks sustainability,” ucapnya.
Diketahui, saat ini pemerintah mempunyai payung hukum dalam melakukan penguatan upaya konservasi keanekaragaman hayati, seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi tiga hal. Pertama, konservasi sumber daya ikan memiliki tiga aspek penting, yakni perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara berkelanjutan.
Pelaksan tugas Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP, Hendra Yusran Siry, mengatakan ketiga aspek tersebut saling terintegrasi dan saling berkaitan. “Di satu sisi melindungi biota yang terancam punah, di lain hal merupakan langkah positif untuk menjaga kelestarian sumberdaya perairan yang semakin menipis, dan sekaligus juga mendukung untuk mensejahterakan masyarakat di sekitarnya,” ujarnya.
Menurut Hendra, pemerintah untuk konservasi hutan mangrove sendiri ditargetkan mencapai seluas 32,5 juta hektar pada 2030. Upaya kesana salah satunya dengan pembuatan pusat rehabilitasi dan kesehatan pesisir.
“Di beberapa pantura Jawa, hilangnya hutan Mangrove ini bisa hilang 0,9-1,4 kilometer mundurnya garis pantai tersebut. Nah kami membuat pelindung untuk pemecah ombat untuk menanam kembali mangrove atau struktur yang memungkinkan agar benih-benih tersebut tumbuh dengan baik,” kata Hendra.
Adapun Sekjen KIARA Susan Herawati berharap ke depan kebijakan pemerintah mampu menjawab kegelisahan mengenai kondisi keanekaragaman hayati dan alam yang sedang kritis. Menurut dia, kebijakan pemerintah belum komprehensif dalam melindungi keanekaragaman hayati di Indonesia.
“Terumbu karang sudah habis, mangrove yang kekurangan luar biasa dan biodiversity lainnya. Banyak faktor, terutama akibat pembangunan. Kita juga menghadapi krisis iklim,” ujar Susan.