maaf email atau password anda salah
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Konfirmasi Email
Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.
Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo
Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Masukan alamat email Anda, untuk mereset password
Konfirmasi Email
Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.
Ubah No. Telepon
Ubah Kata Sandi
Topik Favorit
Hapus Berita
Apakah Anda yakin akan menghapus berita?
Ubah Data Diri
Jenis Kelamin
PADA awal 1950-an, dia dikenal sebagai jaksa yang teguh bertahan terhadap godaan. Dialah pula yang pernah menjebloskan sejumlah menteri rezim Orde Lama ke balik terali besi. Priyatna Abdurrasyid, pria yang telah melintasi berbagai zaman, kini menjejak usia 78 tahun.
Tetap bersemangat di usia senja, Priyatna bukannya tak pernah "kandas". Tersebutlah di awal Orde Baru, ketika tanpa kompromi ia memotori pengusutan kasus korupsi di Pertamina, "tambang uang" kroni penguasa. Tak tanggung-tanggung, Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo berada dalam sasaran bidiknya. Namun, kali ini, justru ia yang terdepak dari kejaksaan. Priyatna tersingkir, tapi tak pernah kehilangan martabat dan harga dirinya.
Ketika wibawa kejaksaan berada di titik nadir lantaran berbagai skandal suap dan korupsi para pejabatnya, teladan keberanian serta kebersihan Priyatna Abdurrasyid perlu dilongok kembali. Beberapa waktu lalu, pria yang belakangan menekuni hukum ruang angkasa itu menuturkan penggalan hidupnya kepada Amal Ihsan dari Tempo.
Hasta Mitralah yang menggebrak dunia bacaan Indonesia dengan menerbitkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, pertama-tama karya yang ditulis dari pulau pembuangan Buru, Maluku—nun di kesunyian Lembah Wayapo. Karya-karya inilah, antara lain, yang sempat menempatkan Pramoedya sebagai calon penerima Hadiah Nobel untuk bidang kesusastraan.
Dari tiga serangkai itu, kini tinggal Joesoef Isak seorang. Pram dan Hasyim sudah mendahului ke alam baka. Mungkin tak banyak yang tahu, Joesoef juga wartawan andal. Dia pernah menjadi Pemimpin Redaksi Harian Merdeka. Sebagai penggiat organisasi, dia pernah menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Jakarta dan Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Asia-Afrika.
Pekan lalu, tepatnya 15 Juli 2008, Joesoef menginjak usia 80 tahun. Sejumlah rekan dekatnya—baik dari kalangan senior maupun generasi yang lebih muda—merayakan peristiwa itu dengan sebuah peringatan kecil dan diskusi buku di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Nugroho Dewanto dan Gabriel Wahyu Titiyoga dari Tempo menggali kepingan sejarah yang melekat pada diri lelaki yang masih bersemangat itu.
Sajogyo merupakan empu ekonomi dan sosiologi pedesaan yang mumpuni. Ia dedikasikan seluruh hidupnya untuk meneliti, menulis buku, dan mengajar perihal masyarakat desa. Rumahnya di Bogor menjadi tempat singgah para mahasiswa yang ingin berdiskusi dan berkonsultasi dengannya tentang masalah pedesaan. Di rumah itu pula terkumpul 6.000 buku miliknya yang telah diwariskan ke Sajogyo Institute.
Dalam tiga kali pertemuan, Sajogyo menuturkan kecintaannya terhadap masyarakat desa kepada Grace S. Gandhi dan Rina Widiastuti dari Tempo. Tutur kata yang lemah lembut dan pikirannya yang jernih menandakan kecendekiawanan yang paripurna.
Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.