maaf email atau password anda salah
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Konfirmasi Email
Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.
Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo
Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Masukan alamat email Anda, untuk mereset password
Konfirmasi Email
Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.
Ubah No. Telepon
Ubah Kata Sandi
Topik Favorit
Hapus Berita
Apakah Anda yakin akan menghapus berita?
Ubah Data Diri
Jenis Kelamin
PARA pekerja renovasi Sarinah tahun lalu “menemukan” relief zaman Sukarno berukuran 3 x 12 meter “disembunyikan” di ruang instalasi listrik gedung. Relief itu menggambarkan suasana pasar lama: ibu-ibu berkebaya bersama barang jajanan dan para lelaki bercaping membawa pikulan. Relief itu menarik karena sebagian berupa relief patung tiga dimensional yang menonjol.
Tak ada arsip mengenai relief itu. Muncul spekulasi dari para pengamat seni rupa tentang siapa pembuat relief dan mengapa karya tersebut bisa dibuang di ruang genset yang pengap di Sarinah. Apakah relief itu sengaja dilenyapkan Orde Baru karena dianggap “kekiri-kirian” atau pihak Sarinah sendiri di masa lampau yang menganggap relief yang menggambarkan masyarakat pedesaan tersebut tidak cocok dengan modernisasi Sarinah?
Tempo mewawancarai anak-anak para perupa masyhur dari 1960-an untuk menggali kemungkinan-kemungkinan mengenai siapa pembuat relief tersebut. Tempo juga mewawancarai Menteri Tenaga Kerja zaman Orde Baru, Abdul Latief, yang pada awal pendirian Sarinah terlibat sebagai karyawan.
Sutradara muda dari Lombok, Nusa Tenggara Barat, Muhammad Heri Fadli, merilis film Jamal, yang menyoal problematika keluarga buruh migran. Jamal, akronim dari janda Malaysia, adalah sebutan untuk para istri yang ditinggal mati suaminya, buruh di Negeri Jiran. Ini adalah karya kedua Heri, yang sebelumnya sudah pernah menggarap film soal tenaga kerja Indonesia (TKI). Film berdurasi 14 menit itu diputar dalam Festival Film Lleida, Spanyol, awal Desember lalu. Dalam menggarap dua proyek itu, Heri melibatkan kru dan pemain yang sehari-hari terlibat proses pemberangkatan dan pengurusan TKI serta mereka yang tinggal di Dusun Aik Paek—salah satu kantong TKI di Lombok. Lewat filmnya, Heri tak hanya berbicara soal kemelaratan, tapi juga dampak psikologis bagi mereka yang ditinggalkan. Simak laporan Tempo dari Aik Paek, Lombok Tengah.
KISAH hidup Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau Romo Mangun difilmkan dalam bentuk dokumenter drama. Sebab, tak banyak footage tentang pastor kelahiran Ambarawa, Kabupaten Semarang, 1929, yang dikenal sebagai aktivis, arsitek, novelis, sekaligus kolumnis yang produktif tersebut. Selama sekitar 90 menit, film arahan Sergius Sutanto ini menggabungkan fragmen penting dalam kehidupan Romo Mangun, dari jejak arsitektur dan perlawanannya di Kali Code, Yogyakarta, hingga perjuangannya membela warga dalam pembangunan Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah, juga kilas balik keterlibatannya sebagai anggota Tentara Pelajar dan Tentara Keamanan Rakyat. Sejumlah peristiwa traumatis saat menjadi tentara disebut sebagai alasan Romo Mangun begitu gigih memperjuangkan kemanusiaan. Tempo melaporkan dari Yogyakarta.
Pala, yang merupakan komoditas utama dari Kepulauan Banda Naira, sempat berjaya pada abad ke-16. Belanda, melalui VOC, bahkan memboyong 37 perkenier (pemilik kebun) dari Negeri Kincir Angin itu ke Banda untuk mengelola perkebunan demi memenuhi monopoli pasokan pala di pasar Eropa. Tersisa satu keturunan perkenier terbesar dari abad ke-16 di Banda Naira, Pongky Erwandi van den Broeke, yang kini hanya mengelola 12,5 hektare lahan. Ia menjadi korban kerusuhan 1999.
Pembatasan sosial pada Maret 2020 memukul mundur dunia pariwisata Bali. Begitu pun atraksi tari tiarap dari gegap-gempita panggung pertunjukan. Karena sepi pentas, sejumlah sanggar terpaksa merumahkan para penarinya. Sebagian dari mereka bahkan sempat beralih profesi demi bertahan hidup. Adaptasi dengan keadaan pun menjadi jalan keluar. Perlahan mereka kembali berlatih dan tampil lagi, tentu dengan mengikuti protokol kesehatan. Perubahan ini tak hanya berpengaruh secara estetika, tapi juga berimbas pada koreografi tarian. Dalam tari kecak, misalnya, para penari mesti melatih napas demi bisa mengeluarkan bebunyian dari balik masker. Simak laporannya.
Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.