maaf email atau password anda salah
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Konfirmasi Email
Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.
Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo
Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Masukan alamat email Anda, untuk mereset password
Konfirmasi Email
Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.
Ubah No. Telepon
Ubah Kata Sandi
Topik Favorit
Hapus Berita
Apakah Anda yakin akan menghapus berita?
Ubah Data Diri
Jenis Kelamin
KISAH hidup Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau Romo Mangun difilmkan dalam bentuk dokumenter drama. Sebab, tak banyak footage tentang pastor kelahiran Ambarawa, Kabupaten Semarang, 1929, yang dikenal sebagai aktivis, arsitek, novelis, sekaligus kolumnis yang produktif tersebut. Selama sekitar 90 menit, film arahan Sergius Sutanto ini menggabungkan fragmen penting dalam kehidupan Romo Mangun, dari jejak arsitektur dan perlawanannya di Kali Code, Yogyakarta, hingga perjuangannya membela warga dalam pembangunan Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah, juga kilas balik keterlibatannya sebagai anggota Tentara Pelajar dan Tentara Keamanan Rakyat. Sejumlah peristiwa traumatis saat menjadi tentara disebut sebagai alasan Romo Mangun begitu gigih memperjuangkan kemanusiaan. Tempo melaporkan dari Yogyakarta.
Pala, yang merupakan komoditas utama dari Kepulauan Banda Naira, sempat berjaya pada abad ke-16. Belanda, melalui VOC, bahkan memboyong 37 perkenier (pemilik kebun) dari Negeri Kincir Angin itu ke Banda untuk mengelola perkebunan demi memenuhi monopoli pasokan pala di pasar Eropa. Tersisa satu keturunan perkenier terbesar dari abad ke-16 di Banda Naira, Pongky Erwandi van den Broeke, yang kini hanya mengelola 12,5 hektare lahan. Ia menjadi korban kerusuhan 1999.
Pembatasan sosial pada Maret 2020 memukul mundur dunia pariwisata Bali. Begitu pun atraksi tari tiarap dari gegap-gempita panggung pertunjukan. Karena sepi pentas, sejumlah sanggar terpaksa merumahkan para penarinya. Sebagian dari mereka bahkan sempat beralih profesi demi bertahan hidup. Adaptasi dengan keadaan pun menjadi jalan keluar. Perlahan mereka kembali berlatih dan tampil lagi, tentu dengan mengikuti protokol kesehatan. Perubahan ini tak hanya berpengaruh secara estetika, tapi juga berimbas pada koreografi tarian. Dalam tari kecak, misalnya, para penari mesti melatih napas demi bisa mengeluarkan bebunyian dari balik masker. Simak laporannya.
Lebih dari tiga dekade, tradisi menanam padi ladang menghilang dari Kampung Samo, Posi-Posi, dan Gumira, di kaki Pulau Halmahera, Maluku Utara. Masyarakat dari tiga desa tersebut lebih memilih membeli beras sebagai makanan selingan ketimbang bersusah-payah memelihara padi. Ada yang meninggalkannya lantaran bekerja di perusahaan kayu yang menebangi hutan di kampung, sehingga mereka mendapatkan upah sehari-hari untuk dibelikan beras. Ada pula yang awalnya terpaksa berhenti karena mengumpulkan dana untuk membangun surau di kampungnya yang roboh. Perkumpulan PakaTiva dengan dukungan Yayasan EcoNusa berupaya mengembalikan tradisi tersebut untuk membangun kemandirian pangan masyarakat, juga agar mereka menjaga hutan. Tempo mengikuti Ekspedisi Maluku yang digagas EcoNusa, yang antara lain mendatangi tiga kampung itu.
SEKITAR 280 tahun lalu, krisis ekonomi dan hoaks menyulut Geger Pecinan 1740-1743. Lebih dari 10 ribu warga keturunan Cina di Batavia dibantai Belanda dan lebih dari 500 rumah mereka dijarah serta dibakar. Mereka yang selamat lalu lari ke Jawa Tengah dan bersekutu dengan prajurit Keraton Mataram. Pasukan gabungan ini menyerang balik Belanda dan menduduki sejumlah daerah di Jawa Tengah. Di tengah kecamuk itu, muncul prajurit perempuan, Tan Peng Nio, putri jenderal pelarian dari Cina. Tan Peng Nio layaknya Mulan, tokoh film animasi Disney yang menyaru sebagai lelaki demi turun bertempur di medan laga. Tempo menyusuri jejaknya dengan menyambangi makamnya di Kebumen, Jawa Tengah. Area permakaman itu kabarnya juga menjadi salah satu saksi peristiwa Geger Pecinan sekaligus tempat pertemuan Tan Peng Nio dengan bangsawan Jawa, Raden Mas Soleman Kertawangsa, yang kemudian menjadi suaminya. Berikut ini laporannya.
Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.